Sunday, September 23, 2012

Antikoagulan dan PREVENSI SEKUNDER STROKE

Resiko terjadinya rekurensi stroke pada stroke infark secara umum antara 1-10%. Studi menunjukkan rekurensi dalam 3 bulan pertama setelah stroke lebih banyak terjadi pada kasus embolik daripada infark atherothrombotik. Pada Cerebral Embolism Task Force, melaporkan bahwa 12% pasien dengan kardioembolik akan mengalami emboli kedua dalam 2 minggu pertama.

Penelitian lain melaporkan rekurensi terjadinya stroke kardioembolik sekitar 10% dalam 1 tahun pertama setelah stroke. Dalam mencegah stroke kardioembolik berulang, antikoagulan lebih superior dibanding antitrombosit maupun plasebo.

Penelitian EAFT (European Atrial Fibrillation Trial) meneliti 1007 pasien dengan terapi Vitamin K Antagonis (target INR 3), aspirin (300mg/hari) atau placebo, melaporkan bahwa risiko stroke berulang pertahun berkurang pada kelompok menggunakan antikoagulan dibandingkan dengan kelompok plasebo. Namun pada pasien menggunakan VKA, risiko terjadinya perdarahan lebih tinggi.

Penelitian tahun 1995 oleh TEAFT (The European Atrial Fibrillation Trial Study Group) menunjukkan bahwa risiko perdarahan lebih tinggi pada pasien dengan INR diatas 4,5. Penelitian lain juga menunjukkan risiko perdarahan meningkat pada INR lebih dari 3 (Reynold et al, 2004). Selain INR, bertambahnya usia dan jumlah leukoaraiosis berkaitan dengan meningkatnya risiko perdarahan otak pada pemakaian warfarin. Beberapa studi acak yang lebih besar telah menunjukkan bahwa VKA tidak sesuai untuk pasien stroke dengan etiologi selain kardioembolik. Antiplatelet merupakan pengobatan yang tepat untuk pasien tersebut.

Penelitian ESPRIT (The European/Australasian Stroke Prevention in Reversible Ischemia Trial) membandingkan Vitamin K Antagonis (INR 2-3) dengan aspirin (30-325 mg perhari). Penelitian ini dihentikan sebelum waktunya karena didapatkan keunggulan aspirin pada 1.068 peserta.

Penelitian WASID (The Warfarin-Aspirin Symptomatic Intracranial Disease) membandingkan warfarin (INR 2-3) dengan aspirin (1.300 mg setiap hari) pada pasien dengan gejala stenosis intrakranial. Penelitian juga berhenti sebelum mencapai jumlah yang direncanakan karena terjadi pendarahan otak pada kelompok warfarin. Studi lain pada pasien stenosis arteri cerebri media juga disebutkan bahwa antiplatelet lebih unggul dibanding VKA.

Penelitian WARSS (Warfarin-Aspirin Recurrent Stroke Study) pada 2.206 pasien menggunakan warfarin (INR 1,4- 2.8) atau aspirin (325 mg/ hari) melaporkan pada kelompok warfarin didapatkan perdarahan lebih banyak dibanding aspirin.

Penelitian SPIRIT (Stroke Prevention in Reversible Ischemia Trial) menunjukkan bahwa 1.316 pasien dengan terapi VKA (INR 3-4) dibanding aspirin (30 mg/ hari) melaporkan tidak ada keuntungan penggunaan antikoagulan dalam mencegah stroke

Stratifikasi stroke dengan Fibrilasi Atrial

Stratifikasi skor risiko stroke pasien Fibrilasi Atrial hanya membagi pasien menjadi kelompok risiko rendah, moderate dan kelompok berisiko tinggi mengalami stroke (tabel 3). Oral Antikoagulan (OAK) dianjurkan pada pasien berisiko tinggi, sedangkan OAK atau aspirin direkomendasikan untuk pasien berisiko moderate. Aspirin dianjurkan untuk pasien berisiko rendah. Skor CHADS2 yang umum digunakan hanya memiliki nilai prediksi risiko stroke yang sederhana dan banyak faktor lain belum teridentifikasi. Skor CHA2DS2-VASc lebih baik dalam hal mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi mengalami stroke dan telah digunakan dalam guideline Eropa. Faktor risiko perdarahan harus dinilai sebelum pemberian OAK. Skor yang dapat digunakan adalah HAS-BLED.

AZD0837 dan stroke

AZD0837 adalah antikoagulan oral baru yang cepat dimetabolisme menjadi AR-H067637, sebuah inhibitor langsung trombin yang selektif dan reversibel. Waktu paruh dari AR-H067637 adalah 9-14 jam. AZD0837 dan metabolitnya akan dikeluarkan melalui urin dan faeces. Keamanan, tolerabilitas, dan profil farmakodinamik AZD0837 telah dievaluasi terhadap warfarin (INR 2 hingga 3) pada Fibrilasi Atrial. AZD0837 extended-release telah dikembangkan untuk mencapai kadar plasma dan stabililtas baik dengan dosis sekali sehari (Lip et al, 2009). Telah dilakukan penelitian tahap II acak, terkontrol, paralel, menggunakan empat macam dosis AZD0837 (150mg, 300mg, 450 mg sekali sehari dan 200 mg 2 kali sehari) pada pasien Fibrilasi Atrial. Farmakokinetik dan farmakodinamik AZD0837 juga dievaluasi, termasuk activated parsial tromboplastin (APTT), waktu pembekuan ecarin (ECT), dan fibrin D-dimer (penanda onset fibrin dan thrombogenesis). Pasien Fibrilasi Atrial (n= 955) dengan 1 faktor risiko tambahan untuk stroke secara acak menerima AZD0837 atau VKA (INR 2-3, target 2,5 ) selama 3-9 bulan. Terjadinya pendarahan total sama atau lebih rendah pada semua kelompok terapi AZD0837 (5.3- 14,7%, rata-rata paparan 138 - 145 hari) dibanding VKA (14,5%, rata-rata paparan 161 hari), dengan peristiwa pendarahan yang lebih sedikit pada AZD0837 dosis 150 mg dan 300 mg sekali sehari. Dilaporkan juga dua pasien mengalami stroke iskemik pada terapi AZD0837 150 mg, satu pasien pada pemakaian VKA. Satu pasien mengalami serangan iskemik sepintas pada AZD0837, satu pasien pada VKA

Dabigatran dan Stroke

Dabigatran etexilate, sebuah prodrug dari dabigatran, dengan cepat terserap dalam usus dan terkonversi menjadi dabigatran dalam enterosit, vena portal dan hati oleh mekanisme independen dari jalur sitokrom P-450. Obat tersebut memiliki plasma paruh 14 -17 jam, yang memungkinkan dosis sekali hingga dua kali sehari. Tingkat puncak yang dicapai 1,25-3 jam setelah asupan.

 Kapsul obat dabigatran terdiri dari butiran kecil (0,8 mm) dengan dilapisi asam tartarat. Asam tartarat menciptakan lingkungan mikro asam yang memungkinkan penyerapan independen dari pH lambung, tetapi bisa berefek 6% - 12% pasien mengalami dispepsia. Eliminasi dabigatran 80% melalui ginjal, dan 20% sisanya dengan melalui empedu setelah terkonjugasi menjadi metabolit aktif di hati. Dabigatran kontraindikasi pada pasien dengan gagal ginjal berat dan kehati-hatian penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi ginjal sedang. Meskipun belum ada bukti terkait hepatotoksisitas, penggunaan sebaiknya kontraindikasi pada pasien dengan insufisiensi hati yang berat karena 20% dari eliminasi melalui sistem hepatobiliary (Stangier et al, 2008; Douketis JD, 2011).

 Pengawasan perlu diberikan kepada pasien dengan terapi obat yang mempengaruhi hemostasis, seperti acetylsalicylic acid (ASA) dan clopidogrel, karena adanya peningkatan pendarahan serius yang terjadi ketika digabungkan (Douketis JD, 2011). Dabigatran tidak memerlukan tes darah rutin juga tidak berinteraksi khusus dengan makanan dan obat-obatan.

 Dabigatran bukan suatu inducer maupun inhibitor cytochrome P450. Konsentrasi plasma dabigatran dapat meningkat atau atau mengalami penurunan oleh inhibitor ataupun inducer p-glikoprotein. Rifampisin, suatu inducer P-gp akan menurunkan konsentrasi dabigatran. Beberapa obat-obatan termasuk amiodarone, dronedarone, dan verapamil adalah inhibitor P-gp yang meningkatkan kadar dabigatran dalam plasma (Alberts MJ et al, 2012).

Studi RE-LY mengevaluasi efikasi dan keamanan 2 dosis berbeda dabigatran dibandingkan dengan warfarin. Dilakukan pada 18.000 pasien dengan Fibrilasi Atrial. Dengan hasil dabigatran 110 mg non inferior dibanding warfarin pada efikasi primer stroke maupun emboli sistemik. Dabigatran 150 mg secara signifikan lebih efektif dibanding warfarin maupun Dabigatran 110 mg. Dabigatran 150 mg memiliki risiko perdarahan sama dengan warfarin (Conolly SJ et al, 2009).

 Pemantauan efek antikoagulan dabigatran dapat dilakukan dengan mengukur Thrombin Time (TT), yang mengukur konversi fibrinogen menjadi fibrin oleh trombin (faktor II).

Saat ini belum ada antidotum yang dapat diberikan kepada pasien yang mengalami perdarahan selama terapi dabigatran (Douketis JD, 2011).

Pada Oktober 2010, Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menyetujui penggunaan dabigatran untuk pencegahan primer dan pencegahan sekunder stroke (dan pencegahan emboli sistemik) pada pasien Fibrilasi Atrial. Uji coba klinis inhibitor trombin dan baru inhibitor faktor Xa untuk pencegahan stroke pasien AF menunggu 7 hari sampai 4 minggu setelah serangan stroke, mungkin upaya menghindari komplikasi perdarahan serebral (Alberts MJ et al, 2012).

Rivaroxaban dan stroke

Pada awal November 2011, rivaroxaban mendapat persetujuan Food and Administration (FDA) Amerika Serikat untuk pencegahan stroke dan embolik sistemik pada pasien Fibrilasi Atrial nonvalvular dengan dosis 20 mg (atau 15 mg jika clearance kreatinin 15-50 ml/ menit) sehari sekali pada malam hari saat makan. Disertai juga peringatan mengenai peningkatan risiko stroke ketika pasien menghentikan obat.

Rivaroxaban merupakan inhibitor langsung faktor Xa, memiliki waktu mencapai puncak dalam 3 jam, waktu paruh 6 sampai 10 jam serta dua pertiga terekskresi melalui ginjal (Katsnelson M et al, 2012).

Bioavailabilitas rivaroxaban sesudah pemberian oral merupakan dose-dependent, mulai dari 80% sampai 100% untuk dosis 10 mg dan 66% untuk dosis 20 mg pada kondisi puasa.

Rivaroxaban direkomendasikan dengan disertai makanan. Rivaroxaban sulit larut dalam air, juga terikat kuat dengan protein sehingga sulit untuk terdialisis.

Dua pertiga obat akan mengalami transformasi melalui isoenzim CYP450 (CYP3A4/5 atau CYP2J2). Rivaroxaban juga merupakan substrat untuk P-gp. Rivaroxaban juga harus dihindari pada pasien dengan gangguan hepar sedang hinggaberat, juga pasien dengan gagal ginjal berat (Perzborn E et al, 2010; Riva N, Lip GY, 2012).

Rivaroxaban berinteraksi dengan beberapa obat. Pemberian rivaroxaban kontra indikasi bila bersamaan dengan inhibitor kuat P-gp dan CYP3A4 (misal: golongan antimikotik) ataupun inducer kuat P-gp dan CYP3A (misal: rifampisin, phenitoin, carbamazepin).

Studi ROCKET AF, dengan publikasi september 2011 melaporkan rivaroxaban (20 mg sekali sehari) dibandingkan warfarin (INR 2-3) pada 14.264 pasien untuk pencegahan stroke pada pasien Fibrilasi Atrial. Dengan hasil, rivaroxaban noninferior terhadap warfarin untuk pencegahan stroke atau emboli sistemik. Tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok dalam risiko pendarahan mayor.

Perdarahan intrakranial dan fatal lebih jarang dalam kelompok terapi rivaroxaban.

Pemberian Prothrombin Complex Concentrate (PCC) dapat dipertimbangkan untuk menetralisir efek antikoagulan rivaroxaban.

Apixaban dan stroke

Apixaban adalah inhibitor langsung dan kompetitif faktor Xa.
Apixaban memiliki bioavailabilitas sekitar 50%, dan sekitar 25% diekskresikan melalui urin, lebih dari 50% melalui feces.
Level puncak dalam plasma tercapai dalam 1 hingga 4 jam dengan waktu paruh 8 hingga 13 jam. Sekitar sepertiga obat akan termetabolisir oleh sistem cytochrome P-450 isoenzim (terutama CYP3A4/5).
Apixaban juga merupakan substrat untuk P-gp (Permeability glycoprotein). Sehingga konsentrasinya akan meningkat sesudah ko-administrasi dengan inhibitor kuat CYP3A4/5 dan P-gp.
Eliminasi multipel melalui urin dan feces memungkinkan pasien gangguan hepar dan ginjal yang ringan dapat diberikan apixaban (Riva N, Lip GY, 2012).

Studi apixaban yaitu AVERROES (Apixaban Versus Acetylsalicylic Acid) untuk pencegahan stroke pasien Fibrilasi Atrial yang gagal atau tidak cocok dengan pengobatan VKA. Studi double blind yang baru dilaporkan hasilnya pada Maret 2011 dengan 5599 pasien Fibrilasi Atrial, periode follow up rata-rata 1,1 tahun, menentukan efikasi dan keamanan apixaban (dosis 5 mg dua kali sehari) dibandingkan aspirin (dosis 81-324 mg sehari).
Dengan hasil, apixaban mengurangi risiko stroke emboli atau sistemik, tanpa secara signifikan meningkatkan risiko pendarahan besar atau perdarahan intrakranial (Katsnelson M et al, 2012).

Studi ARISTOTLE (Apixaban versus Warfarin in Patients with Atrial Fibrillation) membandingkan apixaban 5 mg dua kali sehari dengan warfarin pada 18.201 pasien Fibrilasi Atrial, evaluasi selama 1,8 tahun. Primary outcome yang diamati adalah stroke, emboli sistemik dan perdarahan. Apixaban lebih unggul disbanding warfarin. Pasien dengan apixaban mengalami stroke, emboli sistemik serta pendarahan mayor lebih sedikit (Katsnelson M et al, 2012).

Idraparinux

Idraparinux Percobaan Amadeus membandingkan efikasi dan keamanan idraparinux dibanding VKA untuk profilaksis stroke dan sistemik emboli pada pasien Fibrilasi Atrial. Pasien secara acak menerima idraparinux subkutan (2,5 mg) atau dosis VKA yang disesuaikan untuk mempertahankan target INR 2-3. Hasil efikasi utama yang dinilai adalah stroke dan sistemik emboli. Percobaan ini berhenti sebelum waktunya setelah pengacakan lebih dari 4.500 pasien disebabkan terjadi perdarahan banyak pada pemakaian idraparinux. Tingkat perdarahan lebih tinggi terlihat pada pasien lanjut usia dan pasien gangguan ginjal.

Stroke kardioembolik

Stroke kardioembolik merupakan subtipe stroke dengan prognosis buruk yang dapat menimbulkan kematian dan menimbulkan ketergantungan fungsional yang tinggi pada pasien.

Selain itu, Stroke kardioembolik juga menyebabkan terjadinya peningkatan kasus transformasi perdarahan intraserebral pada pasien stroke.

Dengan jumlah sekitar 1/5 dari stroke iskemik, frekuensi stroke kardioembolik semakin meningkat seiring bertambahnya usia.

Adanya perkembangan imejing jantung menyebabkan sumber potensial terjadinya stroke kardioembolik semakin mudah terdeteksi. 

Dari data pencatatan stroke tahun 1988 hingga 1994, frekuensi stroke kardioembolik sekitar 20 %, namun mengalami peningkatan menjadi 25% pada tahun 1995 hingga 2001

Antikoagulan Oral Klasik Vitamin K Antagonis (VKA) merupakan antikoagulan oral klasik terapi yang dapat dipakai untuk pencegahan terjadinya stroke pertama pada pasien Fibrilasi Atrial (Go AS et al, 2003). 

Penggunaan VKA juga bermanfaat pada stroke kardioembolik dengan penyebab lain, seperti pasien dengan katup prosthesis, PFO (Patent Foramen Ovale), kardiomiopati dan infark miokard akut. 

Pasien dengan VKA memiliki risiko terjadi stroke kardioembolik yang lebih rendah dan juga dalam hal mortalitas. Pemberian antikoagulan pada endokarditis infektif masih kontroversial.

Antikoagulan pada satu sisi menimbulkan komplikasi perdarahan, namun pada sisi lain mencegah terjadinya septik emboli.

Pada penelitian Rasmussen tidak didapatkan peningkatan risiko perdarahan intrakranial pada pasien mendapat terapi antikoagulan, bahkan menurunkan kejadian cerebral event (stroke iskemik, stroke perdarahan dan infeksi serebral) dengan warfarin ataupun LMWH sebelum antibiotik.

Terapi Cerebral Venous Thrombosis menggunakan antikoagulan juga dapat mencegah infark vena baru, defisit neurologik baru dan emboli paru, namun juga menimbulkan perdarahan. Fibrilasi Atrial merupakan penyebab utama terjadinya aritmia jantung. Sekitar 0,7 persen populasi Amerika (2,5 juta penderita) merupakan pasien dengan Fibrilasi Atrial. 

Risiko seseorang terkena stroke juga akan lebih besar 5 kali lipat jika terdapat Fibrilasi Atrial. Stroke terkait Fibrilasi Atrial prosentasenya meningkat sesuai usia, dari 1,5% pada usia 50-59 tahun menjadi 23,5% pada usia 80-89 tahun. Risiko meningkat pada usia lebih dari 65 tahun.

Warfarin sebagai Vitamin K Antagonis (VKA), bekerja dengan cara mengganggu produksi protein tergantung vitamin K, termasuk faktor-faktor koagulasi II, VII, IX, dan X. Dosis warfarin biasanya berkisar antara 2 mg hingga 10 mg per hari, secara individual disesuaikan untuk mencapai INR yang diinginkan. Terapi mulai dosis pemeliharaan. Dosis awal yang lebih rendah dapat digunakan pada orang tua.

Prothrombin time (PT) merupakan test yang banyak digunakan untuk memantau VKA. Namun PT menggunakan reagen yang memiliki sensitivitas berbeda-antar laboratorium. Hasil PT dinyatakan dalam detik. Sehingga sejak tahun 1982 dipakai PT terkalibrasi yang dikenal dengan nama INR (International Normalized Ratio). Penelitian telah menunjukkan bahwa VKA tidak bermanfaat bila INR kurang dari 2. Frekuensi perdarahan semakin meningkat pada INR lebih dari 3. Oleh karena itu, pada pasien dengan Fibrilasi Atrial disarankan untuk mempertahankan INR antara 2 hingga 3. Warfarin berinteraksi dengan banyak bahan. Obat-obat yang berinteraksi dengan warfarin terutama inducer dan inhibitor dari CYP450 2C9, suatu enzim yang bertanggung jawab untuk metabolisme bentuk S-isomer warfarin. Inhibitor CYP450 2C9 misalnya amiodarone dan flukonazol. Inducer CYP450 2C9 misalnya rifampisin. Enzim lain, seperti CYP1A2 dan CYP3A4, bertanggung jawab untuk metabolisme R-isomer warfarin dihambat oleh kuinolon, makrolid, metronidazol dan flukonazol. Interaksi obat lain dengan warfarin berhubungan dengan ikatan dengan protein serum.

Warfarin sangat terikat protein dalam serum. Obat yang terikat dengan protein serum akan menggantikan ikatan warfarin sehingga akan mempotensiasi efek antikoagulan. Selain itu, bahan makanan tinggi vitamin K seperti brokoli dapat menghambat efek warfarin. Alkohol juga meningkatkan risiko perdarahan. Sehingga pemantauan INR sangat penting pada setiap pemberian obat ataupun bahan makanan tertentu pada pasien.

Edukasi pasien tentang dampak pemberian makanan dan obat-obatan tertentu merupakan elemen penting dalam manajemen pasien dengan warfarin.

Antikoagulan pada stroke akut

Tujuan pemberian antikoagulan pada stroke embolik akut adalah mencegah rekurensi embolik. Risiko stroke berulang setelah mengalami stroke kardioembolik pada pasien yang tidak mendapat terapi sekitar 10% dalam minggu pertama, terutama pada hari ke-5 dan ke-6.

Studi lain melaporkan bahwa risiko mengalami stroke berulang dalam 14 hari pada pasien Fibrilasi Atrial adalah 5% hingga 8% (tanpa terapi antikoagulan). Selain itu, pemberian antikoagulan heparin saat stroke akut mencegah emboli paru dan trombosis vena.

Transformasi perdarahan adalah adanya ptechiae maupun perdarahan besar pada area iskemik. Transformasi perdarahan terjadi pada 15% stroke iskemik dan 30% stroke kardioembolik. Deteksi transformasi perdarahan tergantung pada neuroimejing yang digunakan. MRI lebih sensitif dibanding CT scan kepala pada deteksi awal.

Adanya “spot sign”, suatu ekstravasasi kontras mempunyai hubungan dengan risiko tinggi ekspansi hematoma. Semakin banyak gambaran bintik-bintik semakin tinggi risiko ekspansi.

Studi otopsi juga melaporkan 50-70% pengguna antikoagulan mengalami transformasi perdarahan. Bahkan sebagian besar pasien dengan antikoagulan yang mengalami transformasi perdarahan menunjukkan asimtomatik.

Risiko PIS pada populasi umum berkisar dari 0,5% hingga 2% per tahun. Pada pasien yang menjalani antikoagulasi, risiko perdarahan menjadi 10 kali lebih tinggi.

Di Amerika Serikat, sekitar 5-12 % PIS berkaitan dengan pemakaian OAK. Hart RG et al (2000) mengemukakan bahwa OAK bukan penyebab langsung terjadinya PIS, tetapi OAK merupakan faktor yang memperburuk PIS. OAK memperberat perdarahan yang semula asimtomatik menjadi manifes, terutama pada penderita dengan gangguan serebrovaskular dan hipertensi. Berdasarkan pada beberapa temuan berikut ini.

1. Perdarahan kecil asimtomatik di otak yang tampak dengan pemeriksaan gradient echo MRI ternyata berhubungan erat dengan hipertensi dan bertambahnya usia. Sedangkan hipertensi dan usia tua merupakan faktor risiko PIS yang berkaitan dengan OAK.
2. CAA (Cerebral Amyloid Angiopathy) sering ditemukan pada usia diatas 70 tahun dan merupakan faktor risiko utama PIS pada usia lanjut. CAA dan usia lanjut ini juga merupakan faktor risiko PIS yang berkaitan dengan OAK.
3. Pemakaian OAK pada penderita yang memiliki faktor risiko primer serebrovaskular menunjukkan risiko yang sangat tinggi untuk mengalami PIS.
4. Penelitian pada penderita leukoaraiosis dengan dan tanpa OAK memperkuat dugaan bahwa penyebab yang mendasari terjadinya PIS pada kedua keadaan tersebut sebenarnya sama.
5. Distribusi lokasi PIS yang berkaitan dengan OAK tidak berbeda dengan PIS pada umumnya.

Sejarah Antikoagulan dan stroke


Penggunaan antikoagulan merupakan hal menarik bagi dunia medis sejak masa Hippocrates (460 – 380 Sebelum Masehi).

Hippocrates menganjurkan pemberian anggur putih untuk membuat darah menjadi encer pada wanita dengan darah menstruasi yang sedikit.

Pada jaman dahulu juga dikenal beberapa ekstrak tanaman dengan istilah pengencer darah. Galen (131-201 M) berfikir bahwa darah terlalu kental pada beberapa pasiennya, sehingga dia menyarankan untuk menjadikannya encer dengan cara menimbulkan diare melalui konsumsi sayuran rhubarb. 

Pada tahun 1884 Haycraft mengidentifikasi adanya efek antikoagulan pada saliva lintah, yang dinamakan Hirudin. Namun ekstrak yang dibuatnya masih beracun. 

Berlanjut hingga penemuan heparin, salah satu obat tua yang sering digunakan hingga kini. 

Penemuan heparin hampir satu abad yang lalu dan membutuhkan waktu bertahun-tahun uji laboratorium ke manusia. 

Tahun 1916, Jay McLean, mahasiswa di Johns Hopkins Medical School, Baltimore, Amerika Serikat, bekerja pada dosennya, William Henry Howell. Howell menduga cephalin yang diisolasi dari otak anjing akan menimbulkan aktivasi prothrombin. 

Ternyata setelah diteliti oleh McLean, cephalin tidak menimbulkan efek yang diharapkan. Selanjutnya McLean melanjutkan penelitian menggunakan hepar anjing, yang ternyata menimbulkan perdarahan hebat pada hewan. Penelitian McLean terhenti karena dia lebih tertarik kembali pada cephalin, yang menurutnya lebih berguna pada penghentian luka perdarahan pada peperangan. 

Setelah heparin, para peneliti memerlukan alternatif antikoagulan yang dapat diberikan peroral. Pada tahun 1920an, ketika itu banyak sapi dan domba mati karena perdarahan organ dalam. Penyebabnya adalah konsumsi makanan ternak dari daun dan jerami yang diproses secara primitif sehingga tumbuh jamur-jamur jenis Penicillium nigricans dan Penicillium jensi. Ternak terhenti perdarahan jika makanan dihentikan atau mendapat transfusi darah hewan sehat. Para peneliti dari Wisconsin, Amerika Serikat terus mempelajari hal tersebut. 

Salah seorang peneliti bernama Karl Link, saat menjalani perawatan sanatorium, mendapat ide untuk menggunakan bahan penelitiannya sebagai rodentisida (pembunuh tikus). Pembunuhan tikus berhasil dengan menimbulkan perdarahan internal. 

Akhirnya, bahan tersebut diberi nama Warfarin, singkatan dari Wisconsin Alumni Research Foundation. Penemuan antikoagulan jenis baru membutuhkan waktu lebih kurang 70 tahun. 

Berbeda dengan heparin dan warfarin, obat antikoagulan jenis baru bekerja lebih spesifik pada tahap koagulasi tertentu Penggunaan teknologi tinggi x-ray kristalografi dan komputerisasi mampu menghasilkan biovailabilitas dan farmakokinetik yang diharapkan. 

Beberapa percobaan tahap III obat-obatan oral antikoagulan baru pada pasien Fibrilasi Atrial, sebagai salah satu faktor risiko stroke telah terselesaikan atau mendekati penyelesaian.

Stroke dan antikoagulan

Penyakit serebrovaskular menempati peringkat kedua sebagai penyebab kematian di seluruh dunia. Kematian dalam 1 tahun pertama setelah serangan stroke sekitar 20 %.

Setiap tahun, di Amerika Serikat 795.000 orang mengalami stroke. Sekitar 610.000 orang mengalami stroke pertama dan 185.00 orang mengalami stroke berulang. Di negara barat, jumlah penderita stroke iskemik sekitar 80-85 % dari seluruh penderita stroke. 

Namun di Asia, jumlah penderita stroke iskemik dibanding stroke perdarahan mencapai 2:1 hingga 3:1. Data review sistematik insidens stroke global menunjukkan perbedaan antara negara berkembang (mengalami penurunan 42%) dengan negara sedang berkembang (mengalami peningkatan 100%) selama 4 dekade terakhir. 

Insidens stroke dan mortalitasnya semakin meningkat, seiring modernisasi dan meningkatnya angka harapan hidup. Di seluruh dunia, 15 juta manusia menderita stroke setiap tahunnya. 

Sekitar lima juta orang meninggal dunia dan 5 juta lainnya mengalami kecacatan akibat stroke.

Diperkirakan pada tahun 2020, mortalitas stroke meningkat dua kali lipat sebagai akibat dari peningkatan populasi usia lanjut dan peningkatan jumlah pengguna rokok. 

Dari 60% seluruh penderita stroke adalah penduduk di negara miskin dan negara yang sedang berkembang. 

Laporan RISKESDAS 2007 Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang dirilis tahun 2008, menyebutkan stroke sebagai penyebab utama kematian di Indonesia, yaitu 22,5% pada pria dan 20,5% pada wanita kelompok usia 55-64 tahun. 

Sedang pada kelompok usia diatas 65 tahun, 20,9% pada pria dan 24,4% pada wanita. 

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa di Indonesia stroke menduduki peringkat pertama penyakit tidak menular pada semua umur (26,9%), diikuti hipertensi (12,3%), diabetes melitus (10,2%), tumor ganas (10,2%), dan penyakit jantung iskemik (9,3%) 

Beberapa faktor risiko yang dapat mempermudah terjadinya serangan stroke, misalnya usia tua, jenis kelamin (laki-laki), faktor herediter (familial), ras (etnik), memang tidak bisa diubah. Sedangkan faktor risiko lainnya mungkin bisa diubah. 

Salah satu faktor risiko yang dapat dirubah dan well-documented adalah Fibrilasi Atrial (FA). FA meningkatkan risiko stroke hingga 5 kali lipat, menyumbang 15% dari stroke, meningkat sesuai usia dan membutuhkan biaya besar. Di Amerika Serikat biaya untuk penanganan Fibrilasi Atrial adalah 66 miliar dollar per tahun. 

Stroke kardioembolik dengan jumlah sekitar 1/5 dari stroke iskemik, dan kasusnya semakin meningkat seiring bertambah usia. Stroke kardioembolik merupakan subtipe stroke dengan prognosis buruk yang dapat menimbulkan kematian dan menimbulkan ketergantungan fungsional yang tinggi pada pasien. 

Selain itu, Stroke kardioembolik juga menyebabkan terjadinya peningkatan kasus transformasi perdarahan intraserebral pada stroke. 

Dalam banyak kasus, terulangnya stroke kardioembolik juga dapat dicegah dengan antikoagulan. Heparin, warfarin dan beberapa obat antikoagulan jenis baru sedang dikembangkan. 

Obat-obatan tersebut bekerja lebih spesifik pada tahap koagulasi tertentu. 

Misalnya Faktor Xa inhibitor, termasuk di dalamnya inhibitor indirek seperti idraparinux dan biotinilasi idraparinux yang menghambat faktor Xa melalui potensiasi antitrombin. 

Obat-obatan baru lain seperti dabigatran sebagai inhibitor thrombin langsung dan obat-obatan inhibitor langsung faktor Xa (rivaroxaban, apixaban, edoxaban, dan betrixaban). 

Ximelagatran menunjukkan efikasi yang sama dengan warfarin namun dianggap gagal karena toksik pada liver

Proses Koagulasi Darah (3) : Tahap Propagasi atau Pembentukan Trombin

   -->

Pada permukaan trombosit akan terjadi reaksi faktor IXa mengikat faktor VIIIa dengan bantuan kalsium. Faktor VIII beredar dalam darah bersama dengan faktor von Willebrand. Oleh aktivasi trombin, Faktor VIII akan terpisah kemudian berpartisipasi dalam kompleks tenase intrinsik (Fisher M, 2009).
Faktor Xa terikat pada permukaan trombosit dengan faktor Va untuk membentuk kompleks prothrombinase. Kompleks ini akan mengaktifkan protrombin menjadi trombin. Tenase dan kompleks prothrombinase bekerja sangat efisien dan mengkonversi ribuan molekul trombin permenit. Ketika pembentukan trombin sudah maksimal, trombin kemudian memisahkan dari permukaan trombosit, mengubah fibrinogen menjadi fibrin,  juga mengaktifkan faktor XIII untuk membentuk sumbatan yang stabil

Heparin dan LMWH

Heparin adalah glikosaminoglikan dari babi atau sapi. Berat molekul berkisar dari 5000 sampai 30.000 dalton (d). Heparin diberikan subkutan atau intravena. Heparin bentuk oral saat ini sedang dikembangkan. Efek antitrombotik heparin akan segera terjadi jika diberikan bolus intravena diikuti pemeliharaan intravena. LMWH berat sekitar 1000 sampai 10.000 d. LMWH memiliki efek yang lemah pada trombin dan lebih selektif pada faktor Xa. Penurunan berat senyawa menyebabkan LMWH lebih sedikit terikat pada trombosit, protein, sel endotel, dan makrofag. Hal ini menyebabkan efek LMWH lebih lama dan relatif dapat diprediksi dibanding UFH (Mohr JP, 2011).

Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) adalah tes yang paling banyak digunakan untuk memantau efek antitrombotik heparin. Tingkat optimal antikoagulasi terjadi bila kadarnya sekitar 1,5 kali nilai kontrol. Tes lain yang sering digunakan pada prosedur neurointervensi  adalah pemeriksaan Activated Coagulation Time (ACT) (Qureshi AI, 2011; Mohr JP, 2011).

Jika pasien mengalami perdarahan, heparin harus segera dihentikan. Dilanjutkan pemberian protamin sulfat. Perdarahan juga merupakan komplikasi pada pemakaian LMWH. Faktor pembekuan dapat diberikan pada pasien mengalami perdarahan (Mohr JP, 2011).

Komplikasi heparin selain perdarahan adalah trombositopenia karena respon imunologis berupa peningkatan immunoglobulin G. Trombositopenia perlu diamati pada 3 hingga 15 hari setelah terapi heparin (Qureshi AI, 2011).

Proses Koagulasi (2) : Tahap Amplifikasi

 Pada kasus injuri atau pada proses aktifasi kuat koagulasi darah (seperti pada proses aktivasi monosit oleh endotoksin), pembentukan trombin akan mengaktifkan satu faktor lagi yaitu faktor XI, dua kofaktor (yaitu: faktor V dan faktor VIII) serta trombosit. Pada kasus kerusakan dinding pembuluh darah, trombosit dan faktor VIII yang bergabung dengan faktor von Willebrand akan keluar ke jaringan ekstravaskuler. Akan terjadi  peralihan reaksi koagulasi yang awalnya pada sel subendothelial menjadi berada pada permukaan trombosit yang teraktifasi tersebut      ).

Proses Koagulasi Darah (1) : Tahap Inisiasi

Proses koagulasi berawal pada permukaan sel yang dapat mengekspresikan TF (Tissue Factor). TF yang berada dalam sel subendothelial akan mengalami inisiasi dengan cepat ketika pembuluh darah mengalami kerusakan. Berbagai mediator dilaporkan dapat merangsang pengeluaran TF. Monosit dan sel endotel pada kondisi fisiologis tidak mengekspresikan TF. Monosit akan mengekspresikan TF jika terpapar berbagai mediator (misalnya, C-reaktif protein dan LDL). Sel endotel mengekspresikan TF setelah mendapat stimulasi oleh sitokin (seperti  TNF, Interleukin-1b) atau mediator lain (trombin, LDL, Vascular Endothelial Growth Factor).
TF yang sudah terbentuk akan bertindak sebagai reseptor untuk faktor VII yang teraktivasi (FVIIa). Selain itu, TF dapat juga langsung mengikat faktor VII yang inaktiv, membentuk kompleks TF-FVII.  Kompleks tersebut dapat terkonversi menjadi TF-VIIa dengan bantuan faktor VIIa. Setelah terikat dengan TF, faktor VIIa akan mengaktifkan faktor X menjadi suatu enzim aktif yaitu faktor Xa.
Kompleks TF-VIIa juga dapat mengaktifkan faktor X secara tidak langsung melalui aktivasi faktor IX yang selanjutnya mengaktifkan faktor X. Aktivasi langsung faktor X oleh kompleks TF-VIIa (disebut juga ekstrinsik tenase) lebih efisien dibandingkan melalui faktor IXa (juga disebut intrinsik tenase).
Faktor Xa kemudian akan mengaktifkan faktor II (prothrombin) menjadi faktor IIa (trombin). Fase inisiasi dapat dibatasi oleh inhibitor seperti  TFPI (Tissue Factor Pathway Inhibitor) dan antithrombin.